Seberapa Berhakkah Kita Mengaku Bisa Menaklukkan Gunung?: Sebuah Catatan Kegagalan Perjalanan Ke Puncak Rinjani
Pemandangan Segara Anak saat Sunrise |
Kisah-kisah tentang perjalanan naik gunung yang standar bisa
Anda pelajari dari film terkenal 5 Cm yang sempat booming dan mem-booming-kan
kegiatan naik gunung akhir-akhir ini. Kegiatan pecinta alam mendaki gunung atau
istilahnya mountaineering ini, biasanya dilakukan oleh anak-anak muda. Bertolak
belakang dengan wisata alam pantai yang berkesan santai, wisata alam mendaki
gunung ini identik dan memang butuh kerja keras. Semakin tinggi gunung yang
ingin ‘ditaklukkan’, perjuangannya pun semakin berat. Maka dari itu kegiatan
mountaineering bagi anak muda sekarang terkesan sangar. Namun dari pengalaman
jalan-jalan mountaineering, timbul pertanyaan di benak saya, benarkah naik
gunung harus dianggap sesangar itu? Dan mengapa ada istilah ‘menaklukkan?’
Apakah gunung sebagai bagian alam sudah seasing itu untuk kita jadikan musuh?
Pertama,
musuh naik gunung yang saya rasakan adalah kelelahan, cuaca dingin, medan
ekstrim, dan tentu saja resiko kematian. Namun buktinya pengalaman mountanering
selalu berkesan indah. Pengalaman pertama saya ke Merapi. Di sana pertama kali
saya lihat bintang jatuh di langit malam yang sangat gemerlap, di tempat yang
sama tampak juga pemandangan kota paling indah di malam hari yang menyerupai
lautan manik-manik emas berpendar. Matahari terbit paling indah juga saya ingat
muncul dari horizon lautan awan di timur Merapi. Namun meski bisa merasakan
keindahan dan mengingat sensasinya sampai sekarang, menurut kepercayaan mendaki
gunung yang benar, saya gagal karena tak sampai puncak Merapi.
Inilah
musuh lain yang saya kenal setelah pernah mencoba naik gunung: gagal menaklukan
puncak. Kalau ukuran keberhasilan naik gunung adalah mencapai puncaknya, maka
keberhasilan ‘penaklukan’ saya yang pertama dan terakhir terhadap sebuah gunung
adalah saat pendakian massal ke Merbabu bulan September di tahun yang sama.
Namun
kepercayaan naik-gunung-harus-ke-puncak itu sedikit luntur setelah saya ke
RInjani, gunung yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan akan coba saya
jadikan arena mountaineering berikutnya. Gunung berapi tertinggi kedua di
Indonesia itu memang sangat cantik. Menurut kepercayaan masyarakat di sana,
Rinjani dijaga oleh putri Sasak bernama Dewi Anjani. Dan memang kenampakannya
seperti seorang putri yang tidur menyamping dengan rambut terurai di punggung.
Pertama kali melihat dari jauh puncak Rinjani, pada 21 Juli 2014, seperti di
film 5 cm saya berujar kepada diri saya sendiri, saya harus sampai ke puncak,
saya taruh puncak itu 5 Cm di depan kening saya. Tendensius sekali.
Namun
ternyata perjalanan semakin menjauhkan jarak 5 cm itu menjadi sejauh jarak
aslinya, ketinggian 3.726 meter. Jika ingin digambarkan, kontur Gunung Rinjani
dari jalur Sembalun ini persis seperti perwujudan analogi orang-orang yang
menganggap perjalanan naik gunung itu layaknya miniatur perjalanan hidup. Kita
mulai dari usia muda, dari bawah, jalan yang mudah, datar, menyenangkan,
kemudian muncul rintangan-rintangan, tikungan, turunan curam, tanjakan tajam
melelahkan, lalu tempat datar, tanjakan lagi sampai akhirnya meraih sukses
adalah yang berhasil sampai puncak.
Perjalanan
di kaki Rinjani yang bersabana ini layaknya awal kehidupan yang indah, tanpa
hambatan berarti layaknya masa kecil. Kemudian kami dihadapkan pada
tantangan-tantangan hidup saat mulai mendaki ke atas. Ada kalanya bebatuan di
tanjakan-tanjakan kecil yang curam, kemudian ada turunan yang membuat kami
terasa terdorong bebas, namun masih sering kami temui jalan datar untuk
beristirahat sejenak. Seperti masa muda yang mulai dihadapkan pada
masalah-masalah kecil, kejatuhan kecil, namun masih sering kita menemukan
tempat bersandar.
Ujian
sebenarnya datang dari tanjakan mahapanjang yang terkenal dengan nama Bukit
Penyesalan. Selama 3 jam lebih saya dan dua teman lain harus mendaki tanjakan
kira-kira 30-45 derajat, dari Pos 3 menuju Plawangan. Plawangan adalah titik peristirahatan,
dataran tempat berkemah di bibir kawah yang menghadap ke danau Segara Anak.
Jadi, perjalanan di Bukit Penyesalan bisa dianggap ujian terberat dalam hidup,
kala ketahanan kita diuji sampai batas untuk bisa sampai di ‘titik nyaman’
dalam kehidupan. Di sana saya tak bisa melangkah mundur, atau sering-sering
menengok ke belakang, karena perjuangan akan terasa semakin berat dan lama. Namun
satu-satunya hiburan saat di Bukit Penyesalan justru ketika menengok ke
belakang. Setidaknya di kelelahan saat itu, saya telah sampai di tempat di mana
saya bisa merasa berada di atas awan, dengan gumpalan-gumpalan putih membentang
luas dan mengelilingi separuh uraian rambut Dewi Anjani. Setelah itu perjalanan
ke Plawangan harus terus dikejar sebelum matahari terbenam, demi mengejar
momentum menyaksikan matahari terbenam dan memancarkan sinar jingga keemasan ke
permukaan Segara Anak. Pemandangan yang menjadi tujuan pertama saya.
Di
tengah kelelahan itu saya selalu terkagum-kagum dengan para porter, penduduk
sekitar Rinjani yang menjadi buruh pikul para pendaki yang merupakan wisatawan
asing. Mereka sungguh mendobrak keyakinan saya tentang tata cara naik gunung
secara modern, baik, dan benar. Tak pakai sepatu bersol tebal, mereka pakai
sandal jepit. Tak pakai baju hangat dua lapis, mereka pakai kaos, jaket tipis
atau sarung sarung, bahkan banyak yang bercelana pendek. Tak pakai tas carrier yang nyaman seperti
yang saya pakai, mereka mengangkut bahan makanan pakai keranjang pikulan yang
tampak menyiksa pundak. Pun demikian, langkah mereka lebih gesit dari saya.
Dibayar kira-kira 100 ribu per hari, para porter itu tentu tak pernah kepikiran
naik Rinjani dan taklukan dia sampai ke puncak. Bukan. Bagi mereka puncak
gunung bukan target, bukan analogi kesuksesan hidup, dan bukan sebagai musuh
yang harus ditaklukan. Yang mereka tahu selama ini Rinjani adalah lahan
pencaharian. Berapa kalipun mereka berhasil menaklukan Bukit Penyesalan, tak
ada ‘tanjakan’ yang berarti dalam perkembangan hidup mereka. Dan tentu alam
gunung berketinggian 3.726 mdpl itu bagi mereka bukan ancaman maut seperti
halnya yang saya rasakan kala kelelahan dan kedinginan. Alam gunung sudah
bagian dari mereka. Tak perlu bertanding sangar, cukup menyesuaikan diri dan
bertahan.
Setelah
berhasil sampai di titik aman Plawangan dan berkemah, esoknya kami coba
menaklukkan tantangan lagi untuk lanjut mendaki untuk menuju puncak. Di
sinilah, saya awalnya merasa gagal. Medannya luar biasa menyulitkan.Lapisan
batu-batu halus dan tebal membenamkan setiap langkah. Udara menggigit membuat
pernafasan terganggu. Dengan terseok-seok, saya sampai di titik aman kedua,
jalan datar selepas cemara tunggal di ketinggian 3.500 mdpl. Tak sanggup
melanjutkan, saya pilih berhenti sejenak. Menikmati matahari terbit di balik
awan, di belakang kawah Tambora yang tampak bagai tatakan. Lalu melihat laut di
sebelah barat, dengan tiga Gili, pulau Bali, dan gunungnya yang disebut Agung.
Bagi saya sudah cukup saat itu, dengan kekuatan yang saya punya, terpaksa tekad
puncak saya lepaskan. Akhirnya hanya kedua teman saya mampu meneruskan
perjalanan.
Mungkin bagi banyak orang saya gagal. Tapi
tanpa kehendak ‘menaklukan’ itu saya rasa bukan gagal yang tepat menggambarkan
situasi saya. Setelah melepaskan mindset seperti pada film 5 cm, pilihan untuk
tak sampai ke puncak saya anggap hanya sebagai hutang. Hutang pada tekad awal yang
telah saya cicil dengan tenaga sampai ketinggian 3.500 mdpl, namun tak mampu
saya tunaikan hingga 3.726 mdpl. Suatu saat saya bisa kembali, menunaikan sisa
226 mdpl yang belum teraih. Bukan ‘menaklukan’, tapi meminjam sejenak punggung
gunung Rinjani, untuk menjejak pucuk mahkota rambut Dewi Anjani sebentar,
kemudian turun lagi ke jalan datar. Sudah.
Setelah
memilih ‘berdamai dan berhutang’ dengan puncak Rinjani, saya kembali ke Plawangan
seorang diri, menunggu kedua teman turun
dari puncak sambil menikmati kebiruan Segara Anak di siang hari. Saya sempat
berbincang dengan seorang porter tua. Ia duduk santai di keteduhan dengan kaos
oblong dan celana pendek. Saya mendekatinya dan bertanya, “Sudah berapa lama
pak jadi porter?” “Sudah lama,” jawabnya. Menilik umurnya kira-kira 40 tahunan,
dan rata-rata porter termuda di sana berusia belasan, aku bisa menerka. “Berapa
kali sampai ke puncak, pak?” lanjutku. “Belum pernah,ngantar barang sampai sini
saja, nggak berminat ke puncak,” balasnya enteng.
Betapa saya tak mampu berkata-kata mendengar jawabnya. Demi
Dewi Anjani!
Komentar
Posting Komentar